Liputan6.com, Jakarta Hujan di Moskow malam itu bukan sekadar cuaca buruk—ia menjadi saksi jatuhnya harapan dan berubahnya sejarah. Final Liga Champions 2008 mempertemukan dua raksasa Inggris, Manchester United dan Chelsea, dalam duel sarat emosi yang berakhir dengan drama adu penalti. Satu momen kecil, satu langkah tergelincir, mengubah segalanya.
John Terry berdiri di titik putih dengan kesempatan mengakhiri penantian Chelsea. Jika bola masuk, The Blues akan meraih trofi Eropa untuk pertama kalinya. Namun, tanah yang basah, tekanan yang tak tertanggungkan, dan mungkin sedikit kesombongan, menjadikan malam itu mimpi buruk baginya.
Lebih dari satu dekade berlalu, dunia masih mengingat wajah Terry yang berlinang air mata di bawah hujan Rusia. Malam yang seharusnya menjadi mahkota kepemimpinannya justru men...